Subscribe:

Ads 468x60px

.

Labels

Thursday, November 24, 2011

Cerita Menuju Yogyakarta


Saya jarang melakukan perjalanan jauh. Jika tak ada alasan kuat untuk melakukannya, saya dengan senang hati lebih memilih tetap berada di indekos menikmati suasana kesendirian yang memikat.

GERBONG delapan kereta Bengawan Solo yang sedang melaju di sabtu malam pekan ketiga Oktober 2011. Saya terlibat obrolan ringan dengan Dirga Satrio Muhammad, mabeng angkatan 13 Emsi.

“Masih ingat tantangan Dirga mengenai blog?” Tanya saya.


“Iya, memangnya kenapa?”


“Bagaimana kalau kita realisasikan?”

“Maksudnya?”

“Buat catatan perjalanan.”

Dirga menguap, dia baru saja terbangun dari tidur. Sejak kereta berangkat dari stasiun Tanah Abang Dirga sudah beberapa kali tidur-bangun di kursinya.
Nugroho Budi Sulistyo, teman seangkatan Dirga di Emsi, menyimak obrolan kami.

“Mau ikut tantangan ini Nug?” Tanya saya serius.
 

"Nulis catatan perjalanan itu gampang, tapi gak tahu kapan mau di upload-nya. Bisa satu bulan lagi atau mungkin satu tahun lagi," retorika Nugie, panggilan akrab Nugroho Budi Sulistyo, lalu tertawa.

Saya, Dirga dan Nugie sama-sama terdaftar sebagai anggota Emsi, sebuah Lembaga Pers Mahasiswa di lingkungan Keluarga Mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Nama yang tercantum di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Emsi adalah Media Center STAN, tapi saya lebih senang menyebutnya Emsi. Emsi merupakan "akronim" yang dipaksakan dari singkatan Media Center. MC=Media Center.

Meski kami satu angkatan kuliah, sama-sama 2008, tapi di Emsi saya lebih senior dari mereka. Saya angkatan 12, satu tahun lebih dulu bergabung dengan Emsi. Dirga dan Nugie baru bergabung saat tingkat dua.

"Kalian juga boleh ikut
kok," kata saya pada Aditya Hendriawan dan Galuh Chandra Adrianur. Mereka berdua juga mabeng angkatan 13.

Adit dan Gchan, panggilan akrab saya untuk Aditya Hendriawan dan Galuh Chandra Adrianur, cuma tersenyum.

"Aku punya blog tapi gak pernah tak isi lagi
e," kilah Gchan.

Adit cuma menyeringai tanpa memberi jawaban pasti, menerima atau menolak ajakan saya. Mabeng (makhluk bengkel) merupakan sebutan kami pada diri kami sendiri sebagai anggota Emsi. Saya, Dirga dan Nugie tidak lagi menjadi pengurus Emsi. Sejak 30 September lalu kami resmi menyandang status alumni STAN. AD dan ART Emsi punya ketentuan khusus untuk anggotanya yang sudah lulus kuliah. Keanggotaan saya, Dirga, Nugie, dan anggota Emsi lain yang telah lulus kuliah beralih dari Anggota Biasa menjadi Anggota Luar Biasa dengan syarat diangkat oleh Pemimpin Umum Emsi.

Adit dan Gchan masih menjadi pengurus Emsi. Mereka masih tingkat tiga. Saat ini Adit mendapat amanah sebagai Pemimpin Umum sementara Gchan adalah seorang Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan.


Dirga masih mempertimbangkan tawaran saya sebelum akhirnya menjawab iya. Jawaban Nugie saya asumsikan menerima. Sementara Adit dan Gchan tak ikut membuat catatan perjalanan sebagai sebuah kesepakatan mengaktifkan blog kembali.

Rencananya kami melakukan perjalanan menuju Yogyakarta, kemudian dilanjutkan ke Kebumen untuk menghadiri resepsi pernikahan mas Guroh dan mbak Desi. Mas Guroh dan mbak Desi juga merupakan Anggota Luar Biasa Emsi. Mas Guroh mabeng angkatan 8 dan mbak Desi angkatan 10. Ini adalah pernikahan kedua kalinya sesama mabeng.

Selain kami berlima, teman baik saya yang juga teman satu indekos saya, Yunis Kripsiawan Watuaji juga ikut dalam perjalanan ini. Kata Yunis dia bosan di indekos terus. Saat saya cerita mau berpergian ke Yogyakarta, Yunis tertarik ikut. Dia pernah beberapa kali ke Yogyakarta, tapi menurutnya dia ingin perjalanan dengan kondisi berbeda. Kunjungan dia ke Yogyakarta sebelumnya merupakan kunjungan ke rumah kerabat. “Tidak ada agenda jalan-jalan.”


DUA hari sebelumnya di Pondok Setia. Saya baru saja masuk kedalam kamar indekos saat ponsel saya berdiring. Satu pesan masuk dari Dirga. Dia mengabarkan bahwa tiket kereta api Bengawan Solo dan Progo di stasiun Bekasi sudah habis. Dia menyarankan ada orang—yang entah siapa—membelinya di stasiun Tanah Abang sore itu. kalo kata orang yang jaga di loket kemungkinan disana masih ada,” tulis Dirga.

Dirga memang tidak meminta saya secara langsung untuk pergi ke stasiun Tanah Abang tapi dia jelas mengirimkan sms itu pada saya. Sebuah trik yang menarik, pikir saya. Sebenarnya saya malas pergi ke stasiun Tanah Abang. Jam sudah menunjukkan pukul dua siang, saya juga tidak tahu jadwal kereta di stasiun Pondok Ranji—stasiun terdekat dari indekos saya. Kalaupun pergi saat itu, kemungkinan besar bakal pulang sore hari saat orang-orang pulang kantor. Kereta bakal benar-benar penuh.

Saya menimbang-nimbang apakah saya akan pergi ke Tanah Abang atau tidak? Saya putuskan menghubungi Nugie. Menurut Nugie sebaiknya saya ke stasiun Senen. Dia bersedia menemani asal menggunakan sepeda motor.

Saya mulai mengingat-ingat siapa saja teman saya yang memiliki sepeda motor dan masih berada disekitar kampus STAN. Maklum teman seangkatan saya banyak yang sudah kembali ke kampung halaman seusai wisuda 12 Oktober lalu. Saat sedang mempertimbangkan tetap pergi atau tidak, Reza Syam Pratama, mabeng angkatan 13, mengirim sms.

“Mas ada di kos?”

“Ada kenapa?”

“Saya kesana ya, mau balikin buku.”

Saya ingat Reza meminjam buku saya sebelum liburan kenaikan tingkat, judulnya Hiroshima, sebuah karya jurnalistik yang membuat Albert Einstein menyesal menemukan rumus atom, ditulis oleh John Hersey.

Reza punya motor. Saya segera menelepon Reza. Saya jelaskan saya mau pergi ke stasiun Senen.

“Boleh saya pinjam motor kamu, Za?”

“Oke mas, nanti saya antar ke kosan.”

Gak perlu Za, nanti saya langsung ke kosan kamu aja.”

Alhamdulillah saya punya teman sebaik Reza. Saya segera mengabari Nugie. Kami putuskan berpergian sesudah solat asar.


STASIUN Pasar Senen atau biasa disebut Stasiun Senen adalah stasiun kereta api yang terletak di Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, DKI Jakarta. Terletak di wilayah ramai dekat Gelanggang Remaja Planet Senen dan pusat perbelanjaan Pasar Senen. Stasiun ini di bangun pada tahun 1916 dan di resmikan pada tanggal 19 Maret 1925.

Setibanya di stasiun Senen, saya dan Nugie segera ke loket pembelian tiket kereta Senja Bengawan atau Bengawan Solo. Tiket habis. Tiket kereta Progo juga habis.

Saya mengirim pesan ke Dirga, “habis.”

Saya dan Nugie lalu melanjutkan perjalanan ke stasiun Tanah Abang. Sebenarnya Nugie lebih memilih pergi ke stasiun Senen karena dia tak tahu jalan ke stasiun Tanah Abang. Setelah tanya ke beberapa orang yang kami temui di jalan akhirnya kami sampai juga ke Stasiun Tanah Abang.

Kami menuju loket nomor 12, loket pemesanan. Tutup. Loket pemesanan lain juga tutup. Nugie bertanya pada security disana.

“Pak loketnya sudah tutup atau cuma lagi istirahat?”

“Memangnya mau beli tiket apa?”

“Kereta Bengawan pak.”

“Untuk hari apa?”

“Sabtu.”

Security tadi mengajak saya dan Nugie ke pos security yang berada di dekat loket penjualan. Dia berbicara sebentar dengan salah seorang yang ada di dalam. Dari dalam orang yang ditemui security tadi sedikit berteriak, “beli pas hari sabtu aja.”

Kesannya memesan tiket tidak wajar disini. Entahlah. Kami sebenarnya hanya ingin memastikan jadwal buka loket pemesanan. Security tadi keluar dan mengatakan hal yang sama, “beli hari sabtu aja.” Dia lalu kembali ketempat dia berjaga tadi. Saya tidak sempat berkenalan untuk tahu siapa namanya.

Kami kembali kedekat loket pemesanan. Nugie membaca tulisan yang tertempel di loket pemesanan 12. “MOHON MAAF TIKET BENGAWAN SOLO HARI INI SUDAH HABIS.” Nugie masih mencari jadwal buka loket tersebut. Di dekat loket ada bapak-bapak duduk lesehan. Sepertinya mereka sedang menunggu kereta untuk perjalanan jarak jauh. Keduanya membawa tas lumayan besar.

Setelah berdiskusi sebentar dengan Nugie, kami putuskan untuk bertanya kepada mereka.

“Loket pemesanan biasanya tutup jam berapa ya pak?” Tanya Nugie.

“Biasanya sampai jam tujuh malam juga masih buka. Mungkin karena tiketnya udah abis.”

Bapak itu lalu bertanya pada saya, “memangnya kalian mau kemana?”

“Kebumen pak.”

“Oo.. orang Kebumen toh,” bapak itu lalu melanjutkan bicaranya menggunakan bahasa Ngapak. Saya tidak mengerti. Cepat-cepat saya lanjutkan jawaban saya.

“Kami mau menghadiri pernikahan temen pak.”

Dia sadar kalau saya bukan orang jawa. Dia mengalihkan pertanyaan pada Nugie, menanyakan asal daerah Nugie. Nugie lahir dan besar di Ngawi, sebuah wilayah kota kabupaten di provinsi Jawa Timur. Selanjutnya Nugie lah yang melanjutkan obrolan dengan bapak yang masih duduk lesehan itu. Kami juga duduk tapi tidak lesehan.

Bapak itu bercerita bahwa kemarin dia juga berencana memesan tiket Bengawan tapi sudah habis. Dia bercerita mengunakan bahasa Jawa dan Indonesia. Campur. Lalu dia ditawari tiket oleh salah seorang security. “Harganya mahal, dua kali lipat”.

“Kalo di sini gak ada calo, wong securitynya yang jadi calo,” tambahnya dengan nada kecewa.

Informasi ini baru bagi saya. Saya beberapa kali menonton berita mengenai peredaran calo menjelang lebaran atau saat libur panjang. Tapi ini bukan menjelang lebaran atau libur panjang. Saya jadi bertanya-tanya, apakah security yang kami temui tadi calo? Kami hanya bertanya mengenai jam buka loket tiket kereta, mengapa dia malah membawa kami ke pos security? Apa ini ada hubungannya dengan kebijakan PT Kereta Api Indonesia yang tak lagi menjual tiket berdiri untuk kereta jarak jauh sejak 1 Oktober lalu?

Saya tak mau asal menyimpulkan. Saya dan Nugie mempunyai prinsip yang sama: segala informasi mesti diverifikasi.

Bill Kovach dan Tom Rosentiel, penulis buku Elements Journalism atau buku terjemahannya, terbitan yayasan Pantau, berjudul Sembilan Elemen Jurnalisme, merumuskan sembilan elemen jurnalisme. Kesimpulan ini didapat setelah Committee of Concerned Journalist mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga tahun.

Elemen ketiga dari sembilan elemen tersebut adalah verifikasi. Bill Kovach dan Tom Rosentiel mengatakan esensi jurnalisme adalah disiplin melakukan verifikasi. Dalam buku A9ama Saya adalah Jurnalisme, Andreas Harsono—salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen, menulis, “disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapat informasi yang akurat. Disiplin verifikasi ini yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni”.

Saya dan Nugie sedang tidak berniat melakukan verifikasi. Hari sudah menjelang magrib. Kami mesti bergegas mencari masjid dan segera pulang. Kami putuskan untuk kembali lagi pagi-pagi esok hari.


AHAD pagi yang cerah. Sebuah kereta api memasuki stasiun Tugu Yogyakarta, salah satu stasiun terbesar dan tertua di Indonesia. Kereta bergerak perlahan melintasi stasiun yang melayani kebutuhan transportasi sejak 2 Mei 1887. Stasiun ini dibangun pada masa kolonial Belanda, tak heran, arsitektur bangunannya pun sangat kental dengan nuansa Eropa.

Menurut Dirga kereta ekonomi tidak berhenti di stasiun ini, “cuma eksekutif sama bisnis doang.” Kereta bengawan solo merupakan kereta kelas ekonomi. Kami akan berhenti di stasiun Lempuyangan. Pemberhentian sekitar 1 km di sebelah timur dari stasiun Tugu. Stasiun yang didirikan pada tanggal 2 Maret 1872 ini melayani pemberhentian semua kereta ekonomi yang melintasi Yogyakarta.

Kemarin pagi, saya dan Nugie berhasil membeli 6 tiket kelas ekonomi kereta Bengawan Solo. Kami pergi usai solat subuh menggunakan motor yang sama. Tiba di stasiun Tanah Abang jam enam. Loket pemesanan belum buka.

Kami menunggu di dekat loket pemesanan. Salah satu security yang berjaga dekat antrean loket pembelian di sebelah loket pemesanan tiket menanyakan kami ingin membeli tiket apa? Nugie jawab pesan tiket Bengawan Solo. Nugie diminta menunggu di dekat loket pembelian. Di samping security. Ada beberapa orang mengantre untuk membeli tiket hari itu . Saat tidak ada yang antre di loket tersebut Nugie boleh memesan.

Satu tiket 37 ribu, tapi yang tertulis di lembaran tiket 35 ribu. Saya menatap Nugie, “mungkin ini karena kita gak beli tiket diloket yang semestinya ya Nug?”

Nugie cuma mengangkat bahu. Entahlah.


KAMI tiba di stasiun Lempuyangan. Pagi-pagi begini stasiun sudah ramai. Kami duduk di ruang tunggu stasiun, menunggu Findo. Kata Dirga, Findo akan menjemput kami. Sebelum meneruskan perjalanan menuju Kebumen, kami bakal transit di rumah Findo. Findo asli orang Yogyakarta. Nama lengkapnya Arfindo Briyan Santoso. Dia juga mabeng, sama seperti saya: angkatan 12.

Saat menunggu di stasiun, Dirga bertemu dengan teman kuliahnya dari Universitas Gajah Mada. Sebelum kuliah di STAN, Dirga kuliah di Universitas Gajah Mada jurusan Hubungan Internasional. Jadilah sepanjang kami menunggu Findo, Dirga mengobrol dengan teman lamanya itu.

20 menit kami menunggu. “Findo udah di luar,” kata Dirga. Sejak awal Dirga kami daulat sebagai pemimpin perjalanan. Walau dia menolak, kami tak peduli. Cara demokrasi: suara terbanyak yang menang.

Kami keluar stasiun. Findo sudah berdiri menunggu. Hari itu Findo menggunakan baju kaos warna merah. Dia sudah rapi. Saya tebak dia sudah mandi. Nyaman sekali rasanya kalau sudah mandi pagi-pagi begini. Kami berenam jelas belum mandi.

Ayah Findo juga ikut menjemput. Kami naik mobil. Ayah Findo yang menyetir. Kata Findo, dia belum lancar menyetir.

Di perjalanan tak banyak obrolan yang terjadi. Mungkin karena letih dan tak ada topik menarik yang kami temukan untuk memulai obrolan. Findo menjelaskan kalau Tulad Peni Kharisma, Izati Choirina, dan Arswendi Danardito akan kerumahnya juga. Rencananya kami akan pergi bersama ke Kebumen. Mereka juga mabeng angkatan 12.

Sejak di kereta, saya belajar bahasa jawa halus atau bahasa Kromo lebih serius. Saya senang mengenal hal-hal baru. Di kampus, saya sudah beberapa kali mempraktekkan menggunakan bahasa kromo lewat sms. Tak semuanya berhasil. Paling tidak saya senang melakukannya.

“Nug, saya sakit perut.”

“Bentar lagi nyampe.”

“Bukan, bahasa kromonya ijin kebelakang apa?”

Kami mengobrol dengan suara pelan. Menyesuaikan dengan nada bicara Ayah Findo yang pelan. Entahlah. Mungkin ini ciri khas masyarakat Yogyakarta bicara dengan suara pelan. Santun.

Nugie berpikir sebentar. Yunis mencoba membantu. Setelah mereka mencari kata-kata yang dinilai santun untuk diucapkan, Nugie menyondongkan tubuhnya kearah saya. “Kulo bade ting wing king,” kata Nugie.

Kulo itu saya,bade mau, ting wing king kebelakang,” Yunis menjelaskan.

Sesampainya saya di rumah Findo, saya langsung menghadap Findo. Dengan meyakinkan saya katakan, “Findo, kulo bade ting wing king.


TULAD tiba di rumah Findo saat kami sarapan. Dia mengendarai motor. Kemarin Tulad naik motor dari Ngawi selama empat jam. Tak lama berselang Findo pergi menjemput Iza di stasiun Lempuyangan. Lalu dia pergi lagi menjemput Wendi. Meski sama-sama tinggal di Yogyakarta, Wendi tak pernah ke rumah Findo sebelumnya. Findo kembali ke rumah tidak hanya bersama Wendi, ada dua perempuan lain yang ikut mereka. Kata Findo itu temannya yang akan ikut kami ke Kebumen. 


PERJALANAN ke Kebumen kami tempuh selama dua jam. Dari rumah Findo, kami diantar ayahnya ke pasar Gamping. Dari sana kami melanjutkan perjalanan menggunakan bus yang biasa menunggu penumpang disana.

Saya tidak terlalu menikmati perjalanan menuju kebumen. Berkali-kali saya tertidur. Kami turun di samping sebuah gapura. Ada janur kuning melengkung tepat di depan gapura itu. Kami melewati gapura, melangkah menyusuri jalan yang sebagiannya coran. Ada persimpangan, kami belok kanan. Di depan kami motor dan mobil di parkir rapi di bahu jalan. Ada lahan kosong di bahu jalan. Meski tidak terlalu luas, cukuplah untuk menampung kendaraan tamu yang hadir di resepsi itu.

Di dekat tenda tamu, mbak Tyas menyambut kami. Dia mabeng angkatan 11. Mbak Tyas dan beberapa mabeng lain sudah tiba di kebumen sejak subuh. Mereka menggunakan kereta Progo. Basa-basi sebentar, mbak Tyas mengajak kami menuju tenda tamu. Tulad yang mengisikan buku tamu untuk kami.

Mbak Tri, mas Yayan, mas Arief, mas Eko, mas Medy, mbak Wahyu, dan mas Wisnu duduk santai di kursi belakang. Jauh dari panggung pengantin. Mas Yayan asyik mendengarkan alunan musik sambil menikmati kue yang baru diambilnya. Kami saling sapa sebentar. Saya lihat jam, sudah setengah 12 siang. Mbak Tyas mengajak kami ke meja prasmanan. Dia berlaku seolah panitia acara saja.

Saya mengambil lima tusuk udang goreng, sayur, rendang, kerupuk, dan lain-lain. Porsinya agak banyak. Padahal di rumah Findo tadi saya sudah makan banyak. Orang tua Findo baik sekali menjamu kami. Selain sarapan, meja ruang tamu Findo penuh makanan ringan, mulai dari jenang, keripik belut, keripik tempe, dan lain sebagainya.

Saat kami tiba tadi, mas Guroh dan mbak Desi belum naik ke panggung pengantin. Menurut Iza, resepsi pernikahannya menggunakan adat jawa. Ada upacara adat untuk mempertemukan pengantin pria dan wanita. Saya bertanya pada Iza apakah tidak ada upacara yang menggunakan bahasa Indonesia? Sejak tadi bahasa yang digunakan bahasa Jawa kromo. Saya hanya mengerti sedikit.

“Kalau yang nikah sama-sama orang Jawa, gak ada bahasa Indonesianya. Semua pake adat Jawa,” jelas Iza.

Mas Guroh dan mbak Desi sama-sama orang Jawa. Mas Guroh berasal dari Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Daerah yang terkenal sebagai salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia. Mbak Desi orang Kebumen.

Setelah makan siang, kami solat zuhur berjamaah di masjid terdekat. Bergantian dalam dua sif. Laki-laki mendapat giliran pertama.

Usai solat, sembari menunggu, kami makan lagi. Saya mengambil satu porsi kecil bakso dan teh botol, lainnya ada yang mengambil buah-buahan, kue, dan sebagainya. Hari itu kami benar-benar makan banyak.

Setelah makan siang kami menuju ke tenda tamu kembali. Mas Guroh dan mbak Desi sudah diatas panggung. Mereka menggunakan baju adat warna kuning keemasan. Di kanan dan kirinya ada dua gadis kecil—saya tebak mereka kembar—duduk sambil mengipasi pengantin. Upacara adat sudah berakhir. Tiga orang—dua laki-laki dan satu perempuan—menggunakan pakaian adat Jawa menghibur tamu dengan menyanyikan lagu-lagu Jawa. Satu diantara mereka berdandan menyerupai Gareng—salah satu dari empat punakawan yang sering muncul dalam pertunjukan wayang.


EMSI punya tradisi “piala bergilir” bagi mabeng yang menikah. Seharusnya setiap mabeng yang menikah akan mendapat piala bergilir tersebut. Konsepnya, mabeng yang mendapat piala terakhir “wajib” menyerahkannya kepada mabeng yang menikah kemudian. Namun kenyataannya lain. Ada beberapa mabeng yang tak mendapatkannya. Kendala utama karena wilayah penempatan alumni STAN menyebar di berbagai daerah negeri ini. Tak semua mabeng siap mengantarkan piala bergilir tersebut. Apalagi kalau penempatan kerja berbeda pulau. Harapan dari diadakannya piala bergilir adalah agar silaturahim antara mabeng tetap terjaga.

Tamu masih terus berdatangan dan silih berganti berfoto bersama pengantin. Kami belum berfoto bersama pengantin. Kami juga tak membawa piala bergilir. Mbak Dian yang seharusnya menyerahkan pialanya kepada mbak Desi dan mas Guroh tak bisa hadir.

Acara hampir usai saat pembawa acara memanggil kami untuk berfoto bersama pengantin. Awalnya saya berharap bisa berfoto tepat di samping mas Guroh, tapi fotografernya tak setuju. Badan saya lebih tinggi dibanding mabeng lain. Posisi saya di geser menjadi paling ujung sebelah kiri. Setelah formasi dianggap layak foto, kami kemudian dijepret berkali-kali dengan kamera berbeda.

Usai acara, kami sempat mengobrol dengan mas Guroh dan mbak Desi. Kepada mas Guroh saya sampaikan bahwa awalnya Fauziyyah Arimi dan Hanifah Muslimah, mabeng angkatan 12 dan 13, berniat hadir. Namun mbaknya Arimi masuk Rumah Sakit Bersalin. Keponakan kelima Arimi lahir. Arimi tak jadi ikut. Hanifah pun juga tak jadi ikut.

Bakda solat Asar kami balik ke Yogyakarta. Adit dan Gchan tidak ikut serta. Mereka langsung pulang lagi ke kampus bersama dengan mbak Tyas dan mabeng lain menggunakan Bus. Esok senin mereka ada kuliah.


KAMI tiba di seberang jalan pasar Gamping menjelang Magrib. Kata Findo ayahnya akan menjemput kami disana. Tak berapa lama Ayah Findo datang menjemput. Kami kembali ke rumah Findo.

Kami solat magrib di kamar Findo. Bergiliran. Selesai solat kami makan malam bersama. Ibu Findo sudah menyiapkan makan malam di ruang tamu. Findo menawarkan untuk menginap saja di rumahnya. Tulad mendukung ide Findo. Tulad juga mulai mengajak berdiskusi “kita mau jalan-jalan kemana?” Sayangnya saya tak bisa menerima tawaran baik itu. Saya dan Yunis sudah janji akan menginap di asrama teman kami, Adam. Dirga dan Nugie juga tak bisa. Dirga akan menginap di indekos kakak tingkatnya saat di UGM dulu, kalau tidak salah namanya bang Restu. Sementara Nugie akan menginap di rumah temannya—entah siapa namanya.

Iza hanya sebentar di rumah Findo, dia mesti segera ke stasiun Lempuyangan untuk kembali ke Klaten menggunakan kereta Pramex. Setelah Iza, Nugie menyusul pergi. Kemudian, saya, Yunis, dan Dirga diantar oleh Findo, Tulad dan Wendi ke halte bus Trans Jogja terdekat. Saya tidak tahu di daerah mana.


SAYA, Dirga, dan Yunis turun di sebuah halte di depan sebuah hotel—saya tak ingat nama hotel itu. Dirga akan mengantar saya dan Yunis ke asrama Adam. Setelah itu dia baru meneruskan perjalanan ke indekos bang Restu.

Kami berjalan kaki menyusuri jalanan Yogyakarta. Kami melintasi kampus UGM. Saya tak banyak bicara. Saya masih asyik menikmati UGM di malam hari. Awalnya saya kira lingkungan UGM sama seperti UI Depok yang terintegrasi. Fakultas-fakultas UGM terpisah. Tidak terpisah jauh, hanya dibatasi jalan-jalan yang bisa diakses bebas masyarakat umum.

Setelah lebih dari 15 menit berjalan, saya bertanya pada Dirga, “masih lama Dir?”

“Masih.”

“Masih jauh?”

“Dari halte tadi sekitar tujuh kilo.”

“Wuh… Jauh amat Dir.”

“Gak tahu deng. Pokonya masih jalan ke depan lagi,” kata Dirga sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke beberapa arah, menjelaskan sambil berimajinasi. Saya tak mengerti.

Gak papa lah Med, kita kan backpacker-an,” kata Yunis ikut nimbrung.

Kami terus berjalan sambil menikmati udara malam. Jalanan Yogyakarta ramah untuk pejalan kaki. Trotoar tetap digunakan untuk pejalan kaki. Berbeda dengan daerah ibu kota, di banyak tempat trotoar beralih fungsi jadi tempat parkir atau jalan pintas sepeda motor melewati kemacetan.

Kami berjalan mengikuti petunjuk dari sms yang dikirim Adam ditambah informasi dari beberapa warga yang kami tanyai di jalan. Kami tiba di asrama Adam sekitar jam sembilan. Namanya Asrama Etos. Asrama ini merupakan rumah dua tingkat dengan banyak kamar. Kami mengetuk pintu depan asrama. Tak ada jawaban. Adam tak ada di asrama. Dia juga tidak membalas sms dan tak menjawab telepon yang masuk ke ponselnya.

Kami putuskan menunggu di depan asrama. Dirga memberi saya dan Yunis permen karet. Kalau makan permen ini gigi jadi putih—versi salah satu iklan televisi. Tak berapa lama, teman satu asrama Adam menemui kami. Dia mempersilakan kami masuk ke ruang tamu. Menurutnya Adam sudah pergi sejak sore, “mungkin lagi rapat.”

Dia menyajikan beberapa kudapan. Berbasa-basi sebentar, dia lalu melanjutkan kegiatan mencuci yang tertunda karena kedatangan kami. Saya membalik bungkus kudapan, “bukan Kriuk.” Saya merujuk merek kudapan yang populer dikalangan mahasiswa STAN. Dirga cuma tersenyum. Dia masih sibuk dengan ponselnya, menghubungi bang Restu. Kudapan Kriuk seolah tak terpisahkan dari kalangan mahasiswa STAN. Harga yang relatif murah dan mudah ditemui membuat Kriuk dekat dengan mahasiswa.

Adam kembali ke asrama jam setengah sepuluh. Dia kembali bersama pendamping asrama—seorang mahasiswa UGM angkatan 2007. Adam menyapa ramah. Dia minta maaf dan menjelaskan tadi dia ada kegiatan yang tak bisa diganggu.

Adam mengatakan bahwa sudah minta izin menggunakan satu kamar yang tak terpakai di asrama untuk kami tempati. Kamarnya ada di lantai dua.

Kami meminta izin untuk solat. Kami belum solat isya. Setelah solat, kami mengobrol sebentar. Dirga meminta Adam mengantarnya ke indekos bang Restu. Adam setuju. Saya dan Yunis memilih segera beristirahat di kamar. Sebelum tidur Dirga sempat mengirim sms mengajak main futsal esok pagi. Mainnya pukul tujuh. Lawannya teman-teman Dirga dari UGM. Saya balas, “oke.”


YUNIS sudah bangun sejak tadi. Dia solat Tahajud kemudian tilawah Alquran. Menjelang subuh kami turun menemui Adam, lalu bersama-sama dengan teman satu asramanya pergi menuju masjid untuk solat subuh.

Asrama Etos punya agenda harian. Salah satunya, bakda solat subuh mereka membaca Al Matsurat bersama kemudian mengikuti forum pagi. Al Matsurat merupakan kumpulan zikir dan doa, dikumpulkan oleh Imam Hasan Al Banna yang diambil dari hadis-hadis Nabi saw. Agenda dalam forum pagi kali ini membahas kerjasama asrama mereka dengan remaja masjid dan forum pemuda setempat. Mahasiswa asrama ini membaur dengan masyarakat setempat. Tak heran semalam kami sangat mudah menemukan asrama ini dengan bertanya pada warga disana.

Menurut Adam, penghuni asrama Etos berbagi amanah, sebagian aktif di organisasi masyarakat, lainnya aktif di organisasi kampus. Penghuni asrama Etos menyebut diri mereka sendiri sebagai Etoser. Kami juga ikut forum pagi. Pendamping asrama memperkenaalkan kami pada Etoser. “Dua orang alumni STAN yang ingin menambah wawasan nusantara.” Ehm. Bukankah mahasiswa STAN siap ditempatkan dimana saja?

Penghuni asrama Etos merupakan mahasiswa penerima Beastudi Etos dari Lembaga Pengembangan Insani Dompet Dhuafa Republika. Saat ini Beastudi Etos tersebar di 13 Perguruan Tinggi Negeri di 11 kota Indonesia.


KAMI pergi menuju tempat futsal jam setengah tujuh pagi. Awalnya saya, dan Yunis hanya minta diberitahu jalan mana yang mesti kami lalui menuju kesana. Adam menolak. Dia memaksa mengantar. Tak ada motor di asrama yang bisa digunakan. Kami putuskan jalan kaki.

Adam ada jadwal kuliah jam setengah sembilan pagi. Namun karena mengantar kami dia sudah keluar dari asrama jam setengah tujuh. Gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tempat Adam kuliah cukup jauh menurut ukuran saya. Adam dulu punya sepeda yang biasa digunakannya pergi kuliah. Hanya beberapa kali digunakan sepeda itu raib. Setelah tak mempuunyai sepeda lagi, Adam biasa menggunakan fasilitas peminjaman sepeda UGM. Adam meminjam sepeda dari fakultas terdekat dari asrama, lalu menggunakannya pergi ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Entah sudah berapa lama kami berjalan. Perut saya lapar. Tenaga saya belum terisi. Yunis dan Adam berjalan di depan saya. Hari itu senin. Saya tak mau menyinggung soal sarapan. Saya berperasangka baik mereka puasa sunah senin kamis. Saya tidak puasa. Usai solat subuh tadi saya sempat minum air mineral.

Saat sampai di Selokan Mataram, ponsel saya bergetar. Satu pesan masuk dari Dirga. Dirga menanyakan posisi kami. Dirga akan menjemput kami. Saya balas, “Selokan Mataram.” Kami menunggu disana.

Jalanan di sekitar Selokan Mataram pagi-pagi begini ramai lancar. Polisi lalu lintas berdiri di persimpangan jalan dan di dekat lampu lalu lintas mengatur kendaraan hilir mudik. Tidak sampai 10 menit Dirga datang dengan sepeda motor milik bang Restu. Kami bertiga naik sepeda motor dan Adam pergi kuliah. Sebenarnya saya keberatan menggunakan satu sepeda motor untuk kami bertiga. Namun Dirga berhasil meyakinkan saya. Kami lewat jalan “belakang.”

Kami tiba di tempat futsal. Disana sudah ada Nugie dan dua orang teman Dirga. Kami lalu berkenalan sambil duduk di pinggir lapangan. Dirga membawa minuman jeruk. Saya langsung minta dan meminumnya. Lumayan untuk menambah energi sebelum bermain futsal. Dirga menelepon beberapa temannya yang lain. Jumlah kami baru tujuh orang.

“Aku kira cuma di STAN doang yang suka ngaret,” bisik Nugie.

Saya cuma mengangkat bahu. Hari itu saya tak menyambut ajakan Dirga bermain futsal dengan antusias. Saya tak membawa baju yang layak buat bermain futsal. Saya juga tak pandai memainkan benda bundar yang bernama bola itu.

Bang Restu pergi menjemput rekannya untuk ikut bermain. Tak lama Fajri Kurniawan, teman seangkatan kami di STAN datang juga. Posisi sekarang: lima dari STAN, satu dari UGM. Sembari menunggu kami memutuskan bermain 3 lawan 3.

Bang Restu kembali membawa satu rekannya. Kami akhirnya bermain 4 lawan 4. Kali ini Dirga membela tim UGM. Waktu bermain masih tersisa satu setengah jam lagi. Artinya kami akan bermain tanpa cadangan selama satu setengah jam.


SELESAI bermain futsal, kami ikut mobil Fajri pergi membeli tiket pulang. Rencananya kami akan kembali sore itu menggunakan kereta Bengawan Solo atau Progo. Dirga meminta saya menghubungi Adam untuk mengajaknya ikut jalan-jalan. Saya hubungi Adam. Kami menjemput Adam di dekat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Kami membeli tiket di stasiun Lempuyangan. Tiga tiket kereta Progo. Berangkat pukul 16.30 hari itu juga. Setelah membeli tiket, kami makan di warung soto pinggir jalan. “Soto di sini enak,” jelas Fajri. Fajri menambahkan, “kalau pas jam istirahat kantor tempat ini rame. Karyawan-karyawan di sekitar sini pada makan disini.” Sotonya memang enak. Bumbu rempah-rempahnya terasa. Meski tempatnya di atas trotoar, pelayanan warung soto ini ramah dan cepat. Satu mangkuk soto ayam dihargai 5 ribu rupiah. Murah bukan?

Setelah makan soto kami kembali ke asrama Etos. Mandi dan mengemasi barang. Kami berpamitan dengan teman-teman Adam dan Pendamping Asrama. Kami lalu melanjutkan perjalanan ke rumah Fajri. Rumahnya dekat dengan kraton. Fajri lahir dan besar di daerah ini. Menurutnya daerah tempat dia tinggal memang sudah ada sejak dulu. Kampungnya berada di samping keraton Yogyakarta.

Kami makan siang di rumah Fajri dan Solat Zuhur di mushola dekat rumahnya. Setelah itu kami jalan-jalan mengitari sebagian kecil Yogyakarta: melewati kraton, tugu Yogyakarta, mampir ke pasar Beringharjo—membeli beberapa helai pakaian—dan Solat Asar di masjid Jogokarian. Rasa penasaran saya melihat masjid Jogokarian terobati sudah.

Saya sangat tertarik dan sekaligus penasaran dengan manajemen masjid ini setelah membaca Kuliah Twitter dari Salim A. Fillah—seorang penulis islami asal Yogyakarta. Salah satu poin yang ditulis Salim A. Fillah adalah mengenai keuangan Masjid Jogokarian. ”Jogokariyan selalu berupaya keras agar di tiap pengumuman, saldo infak harus sama dengan NOL! Infak itu ditunggu pahalanya tuk jadi amal shalih; bukan tuk disimpan di rekening bank. Pengumuman infak jutaan akan sangat menyakitkan jika tetangga Masjid Jogokariyan ada yang tak bisa ke RS sebab tak punya biaya, atau tak bisa sekolah. Masjid yang menyakiti jama’ah ialah tragedi da’wah. Dengan pengumuman saldo infak sama dengan NOL; jama’ah lebih semangat mengamanahkan hartanya. Kalau saldo jutaan, ya maaf,” tulis Salim.

Usai solat asar, kami membeli beberapa buku di kantor penerbit Pro-U Media. Letaknya di seberang jalan depan masjid Jogokarian. Saya membeli dua buku, Jejak Jihad SM. Karto Suwiryo: Mengungkap Fakta yang Didustakan dan Ma’alim Fi Ath Thariq.

Setelah puas membeli buku kami kembali ke masjid. Berfoto bersama lalu berangkat menuju stasiun Lempuyangan. Kami juga menyempatkan membeli oleh-oleh khas Yogyakarta untuk mabeng: bakpia. Bakpia adalah makanan yang terbuat dari campuran kacang hijau dengan gula yang dibungkus dengan tepung lalu dipanggang.


KAMI tiba di stasiun Lempuyangan menjelang jam setengah lima sore. Saya, Yunis, dan Dirga berpamitan kepada Adam dan Fajri. Perjalanan kami di Yogyakarta berakhir hari itu. Kata Fajri lain kali kalau mau main ke Yogyakarta kami mesti menyediakan waktu lebih lama. Banyak tempat wisata yang tak sempat kami kunjungi. Adam menyayangkan keputusan kami kembali hari itu. Dia menawarkan untuk menginap satu malam lagi. “Padahal besok kan ada angkringan gratis,” tambah Adam. Adam merujuk pesta rakyat menyambut pernikahan putri bungsu Sultan Hemengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu Bendhara dengan Kanjeng Pangeran Haryo Yudhanegoro. Tapi keputusan kami sudah bulat buat kembali hari itu juga.


KERETA Progo tiba di stasiun Bekasi jam setengah dua dini hari. Saya dan Yunis akan menginap di rumah Dirga. Paginya kami akan melanjutkan perjalanan menggunakan bus. Ayah Dirga menjemput kami di dekat stasiun. Dini hari begini jalanan Bekasi sepi. Mobil meliuk-liuk mengikuti jalan tanpa hambatan. Sesampainya di rumah Dirga kami disilakan istirahat di kamar adik Dirga di lantai dua. Rumah Dirga dalam proses renovasi jadi agak berantakan. Kami mengobrol sebentar sebelum tidur.


SAYA dan Yunis bangun kesiangan. Buru-buru kami solat subuh. Usai solat, kami sarapan pagi sambil nonton televisi di ruang tengah lantai dua. Menjelang pukul sepuluh kami turun. Ayah Dirga dan Dirga akan mengantar kami pulang. Awalnya saya kira akan diantar sampai ke terminal bus, ternyata ayah Dirga mengantar kami sampai kampus STAN. Alhamdulillah.

Suasana di dalam mobil tenang. Nyaris tak ada obrolan. Alunan musik dari radio mobil menemani kami sepanjang perjalanan itu. Saya berharap Dirga atau Yunis memulai obrolan, tapi itu tak terjadi. Dirga duduk di kursi depan. Sesekali saja bertanya. Yunis tak bisa diharapkan. Dia tidur pulas.

Matahari mulai tinggi. Saya menikmati pemandangan di luar kaca mobil. Pohon dan rumah penduduk berjajar rapi di pinggiran tol. Saya bukan tipe orang yang suka jalan-jalan. Selama tiga tahun kuliah di STAN, saya tak pernah melakukan perjalanan sejauh ini. Tiba-tiba ponsel saya bergetar. Pesan masuk dari Adit. Dia meminta saya menemaninya ke Kota Tua siang itu. Urusan penting. Saya setuju.


Palembang, November 2011

Disclosure: Tulisan ini sudah saya perbaiki sesuai masukan dari Iza. Pada tulisan sebelumnya ada satu kronologi peristiwa yang keliru. Terima kasih Iza. 
Palembang, Desember 2011 

6 komentar:

yunis kripsiawan said...

nice post.
saran n kritik: bahasanya agak kaku ya med, sebaiknya ceritanya dipecah jadi dua atau tiga bagian biar ga terlalu panjang dan pengembangan ide nya lebih fokus, plus konsisistensinya kurang(penggunaan nama kedua koq cuman namanya zyy aja?).

kunjungi my new blog awanlazuardy.blogspot.com

Medi Kecil said...

waw.. ada yunis.

Terima kasih sudah mau meninggalkan jejak, terima kasih sudah mau memberi masukan, dan terima kasih sudah mau memasang link blog saya.

lain kali main kesini lagi ya.

Ahmad Sumitro Gammardi said...

itu motornya temen nugie, med (yg dipake untuk jemput kalian). rada-rada kikuk juga ya klo baca dari sudut pandang Medi. Jadi tahu Medi itu gmn melalui cerita ini. Nice!

Medi Kecil said...

sebenarnya mau buat narasi Dir. tapi datanya nanggung.jadinya gini deh.

shidiq-shidqi said...

lumayan, ceritanya jelas...namun kepanjangan... Trus kurang detail....isi ceritanya harus lebih dikembangkan jadi gk monoton....semangat!

Unknown said...

Wow! Ajiiib! Perjalanan panjang dengan cerita yang panjang. Detailnya bagus, sayang sekali membuat pembaca merasa kelelahan. Cerita ini bisa dikemas ke dalam beberapa tulisan berbeda, atau dibuat berseri. :)